Pages

Subscribe:

Labels

Senin, 19 Desember 2011

Membaca Buku Mengubah Dunia

            Dalam sebuah kolom opini yang tercetak di surat kabar, kira-kira bulan Juni 2011 lalu saya sempat menemukan sebuah opini yang sangat bagus menurut saya. dimana isi dari opini merupakan sebuah kritikan sekaligus masukan bagi pemerintah tentang acara Deklarasi Surabaya Cerdas dan Jujur. Berikut Opininya,

            
Saya meramalkan Deklarasi Surabaya Cerdas dan Jujur akan gagal, kalau 12 tahun ke depan ini putera bangsa Indonesia tetap masih hanya menjalanin hidup kodrati menerima takdirnya. Menjalani hidup kodrati ialah usaha mencapai segala kemakmuran hidup hanya dengan mengandalkan kepekaan indrawi (pancaindra) terutama melihat dan mendengar.
Meminjam istilah Prof. DR Ayu Sutarto, MA, masyarakat Indonesia terkungkung oleh tradisi kelisanan ataub orality (Mulut Bersambut), jadi sama dengan hidupnya kakek-buyut saya yang petani di desa. Biasa menanam padi yang subur karena melihat dan mendengarkan tetangganya yang juga berhasil dan tidak tidak berhasil menanami padinya di sawahnya. Dengan kata lain hidupnya primitif. Orang atau bangsa yang hidupnya primitif seperti kakek-buyut saya itu bodoh, miskin, terjajah karena sulit diajak menata kehidupan manusia (kebenaran, etika, kebaikan dan kejahataan) masa depan yang ideal pada zaman itu. Apalagi orang primitif pada zaman teknologi modern seperti sekarang ini.

 Saya meramalkan Deklarasi Surabaya Cerdas  dan Jujur akan berhasil sukses, kalau 12 tahun kedepan ini putera bangsa Indonesia   biasa diberdayakan hidup sasterawi. Meminjam istilah Prof. DR. Ayu Sutarto , MA ,”tantangan masyarakat Indonesia ke depan adalah mengubah dirinya dari masyarakat yang terkungkung oleh tradisi kelisanan menjadi masyarakat yang bertradisi  keberaksaraan (literacy). Masyarakat tradisi keberaksaraan (istilah saya sasterawi) adalah masyarakat yang mau membca buku dan perfikir, kritis dan bukan hanya terhadap kebohongan, kekeliruan kemunafikan masyarakat lain, melainkan juga kepada dirinya sendiri”. Artinya cerdas dan jujur.

Saya meramalkan begitu bukan saja karena tantangan Ayu Sutarto, tetapi karena mengalami kemajuan diri sendiri, serta mengamati kemajuan bangsa sendiri  dan bangsa-bangsa lain. Sehabis membaca setiap buku , pengetahuan saya bertambah, lalu berpikir untuk menggunakan pengetahuan baru tadi untuk meraih masa depan lebih baik, bersemangat dan berharap mengubah hidup masa lalu kian tebal. Itu yang saya sebut “mengubah takdir”.

hidup sasterawi yang saya maksud adalah putera bangsa selain kiat hidupnya mengandalkan kepekaan indrawinya, juga berbudaya membaca buku dan menulis sebagai kiat hidupnya. Membaca buku dan menulis buku bukan kodratnya. Jadi untuk berbudaya membaca buku dan menulis buku putera bangsa harus dilatih, diajar, dibiasakan membaca buku dan menulis buku. DR. Taufik Ismail tahun 1996 pernah meneliti di beberapa Negara mengatakan bahwa lulusan SMA di Jerman rata-rata telah membaca buku 32 judul buku, anak Belanda 30 buku, anak Rusia 12 buku, anak New York 32 buku, anak Swis 15 buku, anak Jepang 15 buku, anak Singapura 6 buku, anak Malaysia 6 buku, anak Brunai 7 buku, anak Indonesia 0 buku. Kalau penelitian Taufik Ismail hingga sekarang masih berlangsung (pelajar SMA lulus UNAS membaca 0 buku), maka ramalan saya Deklarasi Surabaya Cerdas dan Jujur mengalami kegagalan jelas sudah terbayang.

Bagaimana  sehingga pelajar SMA lulus UNAS tidak membaca buku sejudul buku pun? Pasti mereka tidak hidup sasterawi. Karena pola pendidikan nasional bangsa Indonesia tidak memberi kesempatan untuk membudayakan putera bangsa  membaca buku dan menulis buku. Sejak kurikulum 1975, pelajar Satera Indonesia disatukan dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Untuk mempelajari Bahasa Indonesia sulit dan banyak menyita jam pelajaran (nyatanya di UNAS- kan banyak kegagalan di mata pelajaran ini, dan orang Indonesia   sampai sekarang tidak menguasai bahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga pelajaran membaca –baca sastera Indonesia tidak  peroleh jam pelajaran.  Contoh bahwa orang dewasa (kuasa) Indonesia tidak berbudaya membaca dan menulis bias dilihat di tempat-tempat umum ada tulisan : DI JUAL MOTOR. Atau tulisan dengan ejaan yang salah ANTAR KOTA ANTAR PROPINSI beredar  KE MANA-MANA, menandakan bahwa bangsa Indonesia memang tidak berbudaya membaca (buku) dan menulis (buku)

Selain itu, pola pengajaraan sekolah Indonesia akhir-akhir ini lebih mengutamakan mengajaran muatan ilmu. Dari SD diajarkan ilmu banyak-banyak (agar cerdas?) dengan pamrih agar bias melanjutkan sekolah ke jenjang SMP. Di SMP juga diajarkan ilmu banyak-banyak agar nanti bisa melanjutkan sekolah di SMA. Di SMA pelajaran juga dibebani ilmu banyak-banyak agar lulus menempuh UNAS. Tiap jenjang sekolah (SD, SMP, SMA), muridnya, gurunya, sekolahnya berusaha keras untuk lulus bisa lanjut sekolah. Kalu tidak, muridnya malu, gurunya malu, sekolahnya malu,. Dan para putera bangsa itu tidak hidup saterawi, tidak berbudaya hidup keberaksaraan, maka akan sulit diajak menata kehidupan yang ideal, tidak berpikir kritis terhadap kebohongan, kekeliruan dan kemunafikan masyarakat lain, apalagi terhadap (kebohongan) dirinya sendiri. Dari sini kegagalan “jujur” sudah ketara/ dan banyaknya muatan ilmu selama 12 tahun yang di-UNAS/UAS-kan apakah membuat putera bangsa “ cerdas”?

Saya mengalami sekolah pendidikan dasar (SD) zaman Belanda , zaman Jepang, dan zaman Perjuangan (1983-1949). Kelas 1 SAMPAI KELAS IV  (zaman Belanda) tiap hari diajar membaca buku cerita (sastera). Tidak ada sekolag tanpa membaca buku. Di kelas III, jam pelajaran 6 kali hari, kecuali hari Jum’at (3X). buku yang dibaca tiap hari tanpa lowong: (1) Tataran (cerita kehidupan Koentjoeng Karo Bawoek, bahasa Jawa huruf ABC), (2) Ngerewangi Apa Ngerusuhi (cerita kehidupan anak bajing bernama Perkis, dan nyamuk bernama Gothang, BAHASA jawa hurug Hanacaraka), (3) Kembang Setaman (Kumpulan Cerita penderk bahasa Jawa huruf Hanacaraka), (4) Ontjen-ontjeng (kumpulan cerita pendek bahasa Jawa  huruf ABC), (5) Matahari Terbit (Bahasa Melayu huruf ABC). Lima macam buku bacaan itu tiap hari harus dibaca bersama, sehingga hampir seluruh jam pelajaran  di SD adalah MEMBACA BUKU. Pelajaran lain: berhitung (3X seminggu), olahraga (2X), menggambar, mendongeng, menyanyi masing-masing satu kali seminggu. Di kelas IV masuk halaman sekolah harus bertutur bahasa Belanda,  dan tiap hari juga membaca buku cerita bahasa belanda. Di  kelas IV  Jepang datang, Belanda pergi. Tiap hari diajari MEMBACA DAN MENULIS huruf  dan bahasa Jepang 7 jam pelajaran seminggu. Padahal masuk sekolah hanya 5 hari, hari sabtu hari krida tidak ada jam pelajaran . jadi ada jam-jam pelajaran bahasa Nippon 2X. Tiap hari membaca “Gakko wa haci han ni hajimarimasu”, “ototo-san imoto-san wa mada gakko wa sotsuyo shimasen ka?”  ( ditulis dengan huruf Katakana dan Kanji) Tiap hari masuk kelas, cerita-cerita seperti itu harus dibaca dan ditulis . pada zaman Jepang buku bacaan Jepang belum banyak beredar, sehinnga pelajaran membaca cerita begitu ditulis oleh guru di papan tulis, dan untuk menghafalkan di rumah murid-murid harus mencatatnya di buku  catatan masing-masing. Huruf Kanji satu kata satu gambar. Kalo ada 2000 kata Jepang, tentu ada 2000 huruf kanjinya.

Kelas IV saya sudah diajari menghafal membaca dan menulis puluhan huruf kanji. Andai kata sampai kelas XII, tentu saya sudah hafal 2000 huruf Kanji, jadi saya bisa membaca buku bahasa Jepang. Jadi pelajaran utama sekolag dasar (kelas I-XII) adalah membaca-membaca  cerita dan menulis. Pada zaman Belanda pelajaran sekolah terbanyak adalah membaca-buku-membaca-buku-membaca-buku berbagai bahasa dan huruf, pada zaman Jepang pelajaran sekolah terbanyak juga membaca-membaca-membaca huruf Kanji, sehingga nantinya lulus sekolah 12 tahun sudah hafal 2000 huruf Kanji. Bisa membaca buku-buku bahasa Jepang.

Dari riset Taufik Ismail bahwa lulusan SMA anak Indonesia rata-rata membaca nol buku, berarti selama bersekolah 12 tahun putera Indonesia tidak dibudayakan membaca buku dan menulis buku, kalau system pendidkan nasional Indonesia di terapkan di Jepang, maka 12 tahun kemudian bangsa Jepang lulus  SMA bakal membaca nol buku juga . Bodohnya bakalan sama sengan orang Indonesia menurt riset Taufik Ismail. Sebab semua buku dan surat kabar Jepang di tulis dalam huruf Kanji. Banyaknya huruf Kanji sama dengan banyak nya kata-kata Jepang ,2000 bahkan 8000 kata. Kalau di sekolah 12 tahun tidak di cicil diajari membaca buku (huruf Kanji), mana mungkin jadi mahsiswa tiba-tiba hafal 8000 huruf Kanji?

Dari sini bisa diamati, pelajaran utama bersekolah 12 tahun awal umur anak manusia, baik zaman Belanda maupun zaman Jepang, zaman dulu maupun zaman sekarang, adalah membaca-buku-membaca-buku-membaca-buku. Bersekolah 12 tahun gunanya agar anak manusia berbudaya  membaca buku dan menulis buku, alias hidup sasterawi. Membaca  buku dan menulis merupakan gerbong angkutan ilmu (kruiwagen), sedang pelajaran ilmu lain seperti lain seperti berhitung, menggambar, matematika, bahasa ( Indonesia , Belanda, Jepang, Inggris) merupakan muatan. Zaman Belanda dibudayak membaca buku, muatannya bahsa Belanda, di zaman Jepang dibudayakan membaca huruf Kanji, muatannya diganti bahasa Jepang. Kapan pun dan di Negara mana pun, bersekolah 12 tahun itu gunanya putera bangsa dibudayakan membaca buku dan menulis buku. Kecauli di Indonesia. Di Indonesia sekolah 12 tahun yang perlu diamuti ilmu banyak-banyak. Diajari ilmu matematika, ilmu bahasa Indonesia , ilmu kejujuran, ilmu koperasi, nantinya dengan UNAS. Membaca buku dan menulis tidak dibudayakan, berarti gebong wadah ilmunya tidak ada.

Membaca buku dan menulis buku merupaka seperti gerbong kereta api. Berangkat dari Gubeng menuju Malang , di mana Malang sebagai orang hidup di global modern. Penumpang naik dari Gubeng sampai Wonokromo (sekolah 12 tahun), yaitu pelajaran matematika, bahasa Indonesia, IPS, ilmu kejujuran, dan ilmu kecerdasaan. Namun gerbong kereta api dari Wonokromo membelok ke Mojokerto. La kapan penumpang muatannya samapai di Malang ? Itu ada gerbong angkutannya (membaca buku dan menulis buku).  La kalau tidak ada gerbongnya (membaca buku dan menulis buku tidak dibudayakan di sekolah 12 tahun), ilmu muatan matematika, ilmu bahasa Indonesia , ilmu kejujuran, apa harus berjalan kaki  ke Malang ?

Kalau Deklaerasi Surabya Cerdas dan Jujur ingin berhasil, mumpung Menteri Pendidikan NASIONALNYA JUGA ORANG Surabaya, ubahlah pola system pendidikan nasional Indonesia, membaca buku dan menulis buku menjadi kurikulum utama pendidikan sekolag 12 tahun. Putera bangsa di budayakan membaca buku dan menulis buku, tiap hari tanpa jeda seban masuk selama 12 tahun. Nanti ilmu kecerdasaan dan ilmu kejujuran dengan sendiri akan terangkut dalam putera bangsa membaca buku-buku  dan menulis buku-buku . membaca buku itu mengubah takdir menjadi nurani lebih bijak. Sudah terbukti sejak  Plato murid Socrates (470-399 S.M.) mendirikan Akademus dan menulis buku Apology  yang menceritakan pembelaan Socrates ketika dihukum mati, dan pidato-pidato ilmu filsafat Socretes dalam buku Epistles. Dan sudah terbukti bahwa bangsa Indonesia sekarang banyak yang tidak cerdaas dan tidak jujur, suka menyalahkan orang lain, munafik, bertindak beringas membuat onar, mengeritik orang lain hingga orang lain hancur menjadi kegairahan hidupnya para pengeritik. Dale Cornegeie bilang, “ Semua orang bodoh bisa mengeritik, mencerna dan mengeluh dan hampir semua orang bodoh melakukannya”. Mengapa orang Indonesia masa kini berbuat begitu sehingga orang Surabaya memerlukan Deklerasi Surabaya Cerdas  dan Jujur ? sebab meskipun  telah lulus SMA bangsa Indonesia tidak punya budaya membaca buku dan menulis buku. Berarti pola atau system pendidikan nasional Indonesia sejak awal sampai lulus SMA tidak mencerdaskan bangsa. Dan adanya UNAS memicu ketidak jujuran bangsa. Seharusnya diubah ! diubah seperti Negara-negara maju yang lain, yaitu bersekolah 12 tahun awal umur putera bangsa utama di gunakan untuk menggembleng putera bangsa berbudaya membaca buku dan menulis buku.

Jangan berkoar deklarasi saja. Mari kita buktikan di ranah pendidikan kita.

Tulisan dari seorang pengarang novel bahasa jawa,
Bpk. Suparto Brata

0 komentar:

Posting Komentar