Dalam sebuah berita dalam tayangan televisi, terdapat sebuah aksi yang menyuarakan kekecewaan rakyat Indonesia terhadap PT. Freeport Indonesia yang selama ini cenderung memeras dan arogan terhadap bangsa Indonesia.
PT Freeport Indonesia (PTFI) merupakan anak perusahaan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. yang bergerak di bidang pertambangan di Indonesia. Selaku salah satu penghasil terbesar tembaga dan emas di dunia, PTFI menyadari pentingnya logam bagi ekonomi dunia saat ini.
Selama ini PT. Freeport yang kita kenal telah banyak memberikan kontribusinya terhadap bangsa Indonesia, diantaranya yaitu pada tahun 2003, PT Freeport Indonesia mendirikan Institut Pertambangan Nemangkawi (IPN) untuk memperoleh kesempatan meningkatkan kompetensi, khususnya untuk masyarakat asal Papua yang memberikan kesempatan bagi pemuda pemudi warga Indonesia untuk memperoleh kesempatan kerja sebagai bagian dari operasi PT Freeport Indonesia. Sampai tahun 2010 hampir 3,500 siswa magang telah mengikuti pelatihan di IPN dan memperoleh keterampilan untuk menjadi karyawan yang produktif. Hasil penelitian dari Universitas Indonesia menunjukkan bahwa PT Freeport Indonesia berkontribusi lebih dari 96% produk domestik bruto (PDB) Kabupaten Mimika dan lebih dari setengah bagi PDB Provinsi Papua.
Memang begitu besar kontribusi yang telah diberikan oleh PT. Freeport, namun akhir-akhir ini muncul beberapa permasalahan yang terjadi di negeri ini akibat dari masalah internal PT. Freeport sendiri. Masalah apalagi kalau bukan masalah ekonomi para pekerjanya yang berdasarkan hasil survey ternyata juga merugikan bagi pihak Indonesia secara umum.
Dalam komitmen PT. Freeport, mereka mengatakan sebagaimana demikian “Kami memikul tanggung jawab yang telah diamanahkan Pemerintah Indonesia kepada kami selaku pengelola mineral yang kami tambang di Provinsi Papua. Kami menambang cadangan tembaga dan emas terbesar di dunia, dan wawasan perencanaan kami membentang berpuluh-puluh tahun kedepan. Kami tidak mungkin membuat perencanaan tersebut secara sepihak. Kegiatan kami, proyek dan program kami dilakukan dengan bermitra bersama Pemerintah Indonesia, Provinsi Papua, Kabupaten Mimika dan masyarakat di sekitar kami – yang semuanya berkepentingan menyaksikan kontribusi kami membuahkan masa depan berkelanjutan yang bermanfaat bagi semua pihak. Kami menjalin hubungan yang aktif serta senantiasa berdialog bersama para pemangku kepentingan guna menjamin keberhasilan bersama.”
Dua hal yang saya garis bawah di atas merupakan komitmen PT. Freeport yang menurut saya adalah kosong belaka. Nyatanya perencanaan PT. Freeport memang tidak sepihak namun dari kontrak-kontrak yang telah ia lakukan dengan pihak Indonesia selama ini malah memberikan keuntungan yang besar bagi pihak Freeport sendiri.
Ketua presidium Masyarakat Pertambangan Indonesia (MPI), Herman Afif Kusumo, menilai bahwa management PT Freeport Indonesia yang diuntungkan oleh kontrak karya menjadi sumber masalah di sana. Betapa tidak "kontrak karya ini memberi dampak luas menjadi permasalahan sosial, politik dan keamanan di Papua. Itu karena manajemen Freeport sendiri yang arogan," ujar Herman Afif, Rabu (9/11) di Jakarta.
Diterangkannya, masalah Papua berawal dari masuknya Freeport ke Indonesia pada tahun 1967 berdasarkan UU No 11 tahun 1967. "Waktu (Freeport) masuk, pintu dibuka lebar-lebar, berbagai kemudahan diberikan. Karena dia melihat cadangan mineral sangat besar, maka sebelum kontrak karya habis, Freeport minta renegosiasi perpanjangan kontrak," ucapnya.
Kontrak karya 30 tahun itu sebenarnya terhitung mulai 1967 hingga 1997, namun pada 1991 atau enam tahun sebelum masa kontrak habis sudah minta perpanjangan. "Celakanya, pejabat yang berkuasa saat itu melayani dengan baik dan memberikan keistimewaan kepada Freeport," katanya.
Beberapa kemudahan yang didapat, kata Herman, di antaranya pengecualian kewajiban divestasi dan besarnya royalti emas yang hanya 1 persen. Lalu ada PP No 20 Tahun 1994 yang menyebut asing boleh menguasai 100 persen saham di bidang pertambangan.
Begitu ironis bukan? Negeri ini yang memiliki sumber daya yang begitu melimpah itu. Emas tak ternilai harganya. Tapi mengapa pengelolaan diserahkan kepada pihak luar. Oke saja sebenarnya apabila pihak Freeport mau memberikan bagian yang adil kepada pihak Indonesia selaku pemilik sumber daya tersebut. Namun di sini muncul sebuah pertanyaan. Begitu pandaikah pihak asing memperdaya kita? Atau begitu bodohkah pemerintah Negara kita sehingga kita bisa diperdaya dengan sebuah kontrak yang begitu merugikan kita??
Herman kembali menuturkan "Menurut saya, dari sisi mining mereka is the best. Namun kalau sudah masuk ke sisi ekonomi, politik, mereka jahat. Sebab mindset mereka adalah kapitalis-imperialis. Kalau keluarkan satu harus masuk 100,"
Sebagian besar pendapatan Freeport, sekitar 98 persen diterima oleh Freeport sendiri. Sedangkan Indonesia hanya kebagian 1 persen saja. Apakah ini adil? Inilah buktinya kalau kita memang sedang dijajah. Bukan lagi oleh Negara eropa tetapi sekarang oleh Negara yang dikenal dengan nama negeri paman sam tersebut. Mereka memperoleh keuntungan yang begitu besar, namun yang kita dapat hanyalah sampah. Tidak sedikit penduduk papua sendiri yang mereka bunuh, mereka siksa, behkan mereka peras tenaganya. Tidak jauh berbeda dengan kerja paksa yang terjadi pada masa penjajahan dulu.
Disini peran pemerintah sangat diperlukan untuk membuat persetujuan baru dengan pihak Freeport agar dapat memperbaiki hubungan antara kedua pihak. Jika hal ini dibiarkan terus-menerus, pastilah negeri ini akan hancur. Ingatlah bahwa Negara kita ini adalah Negara yang kaya, kita akan benar-benar menjadi Negara yang kaya apabila kita mampu mengelolanya sendiri, boleh saja jika kita menjalin kerjasama dengan pihak luar namun dengan kesepakatan yang tidak merugikan bangsa ini tentunya.




0 komentar:
Posting Komentar